Liburan sekolah tiba, dan sebagai seorang guru, saya seharusnya bahagia. Bayangkan, enggak perlu mikirin soal RPP, enggak perlu menghadapi pertanyaan murid yang suka ajaib, dan pastinya, enggak perlu bangun pagi buat upacara bendera di sekolah. Tapi ternyata, libur panjang ini enggak seindah yang dibayangkan. Alih-alih menikmati, saya malah keder. Serius, liburan kok malah bingung mau ngapain?
Biasanya, waktu lagi sibuk-sibuknya ngajar, selalu ada momen pengin bolos sehari. Eh, pas dapat libur panjang, malah mikir, “Habis ini ngapain, ya?” Apalagi, liburan kali ini enggak ada agenda. Budget buat liburan juga nihil, belum dianggarkan. Jadi, mau nekat jalan-jalan juga enggak tahu mau ke mana. Kalau dipikir-pikir, gaya hidup saya ini kayak internet paket malam: murah meriah, tapi kadang enggak tahu mau dipakai buat apa.
Contents
Liburan Bareng Anak: Solusi Terjitu!
Untungnya, ada satu hal yang bikin liburan ini tetap berarti: anak saya. Dia ini masih mau 4 tahun, lagi lucu-lucunya, dan yang paling penting, lagi lengket banget sama saya. Jadi, waktu full di rumah ini akhirnya saya manfaatkan buat main bareng dia. Mulai dari main pura-pura jadi dinosaurus, bikin benteng dari bantal, sampai baca buku cerita yang sama lima kali dalam sehari. Kalau dihitung-hitung, kayaknya saya lebih produktif sebagai “dinosaurus” daripada sebagai guru belakangan ini.
Tapi di balik keseruan ini, muncul satu pertanyaan besar: gimana sih cara mendidik anak perempuan yang baik? Saya sadar, anak perempuan ini beda dunianya sama bapaknya. Kalau anak laki-laki mungkin bakal diajak main bola atau mancing, anak perempuan sering kali punya dinamika emosional yang lebih kompleks.
Nontom Keluarga Cemara dan Kegalauan Seorang Ayah
Kemarin, saya nonton ulang Keluarga Cemara. Pas sampai adegan Euis bilang, “Benci Abah!” ke ayahnya, saya langsung merinding. Wah, gimana kalau nanti anak saya yang bilang begitu ke saya? Drama banget, kan? Langsung terbayang masa depan yang penuh konflik ala sinetron.
Tapi, setelah dipikir-pikir, mungkin itu risiko jadi orang tua. Namanya anak-anak, pasti ada fase di mana mereka “melawan”. Tugas kita sebagai orang tua adalah menyiapkan fondasi yang kuat sejak mereka kecil. Jadi, pas mereka masuk fase “rebel,” hubungan kita tetap kokoh.
Makanya, sekarang saya mencoba membangun komunikasi yang baik dengan anak saya. Walaupun dia masih kecil, saya selalu berusaha jadi pendengar yang baik. Misalnya, kalau dia cerita soal bonekanya yang katanya bisa ngomong, saya dengarkan sambil pura-pura kaget, “Wah, serius? Terus bonekanya ngomong apa?” Padahal jelas-jelas itu cuma imajinasi. Tapi buat dia, respons saya berarti banget.
Bukan Cuma Tentang Kasih Sayang
Mendidik anak perempuan itu, menurut saya, enggak cuma soal kasih sayang. Perlu ada batasan yang jelas, tapi dengan cara yang lembut. Misalnya, kalau dia marah-marah karena enggak dibelikan mainan, saya enggak langsung memarahinya. Sebaliknya, saya bilang, “Kamu boleh marah, tapi coba cerita, kenapa pengin banget mainan itu?” Kadang, jawabannya bikin ketawa, seperti, “Karena boneka aku butuh teman.”
Selain itu, saya juga belajar pentingnya memberi apresiasi. Kalau dia berhasil melakukan sesuatu, sekecil apa pun, saya berusaha memujinya. Misalnya, waktu dia berhasil membereskan mainannya sendiri, saya bilang, “Wah, kamu hebat banget, lho! Abah jadi bangga.” Pujiannya sederhana, tapi saya yakin dampaknya besar.
Liburan Sederhana yang Bermakna
Karena enggak ada budget buat liburan, saya mencoba bikin “liburan” versi sendiri di rumah. Salah satu ide terbaik saya adalah bikin camping ala-ala di ruang tamu. Saya dan anak saya bikin tenda dari selimut, terus tidur di bawah sambil cerita-cerita. Enggak perlu jauh-jauh ke gunung, pengalaman ini sudah cukup bikin kami senang.
Kadang, saya juga masak bareng dia. Walaupun hasilnya lebih sering berantakan daripada enak, tapi prosesnya itu yang bikin seru. Anak saya paling suka waktu kami bikin pancake. Dia dengan bangga bilang, “Ini pancake buatan aku sama Abah!” Momen-momen seperti ini yang bikin liburan jadi lebih berkesan.
Refleksi
Liburan kali ini mengajarkan saya bahwa jadi orang tua itu bukan cuma soal memberi makan, pakaian, dan pendidikan. Lebih dari itu, ini soal membangun hubungan yang kuat sejak dini. Anak saya mungkin enggak akan ingat detail liburan ini nanti, tapi saya yakin dia akan ingat perasaan bahagia karena Abahnya selalu ada buat dia.
Jadi, kalau ada yang bilang liburan panjang itu bikin bingung, saya setuju. Tapi saya juga percaya, dengan sedikit kreativitas dan niat, liburan ini bisa jadi momen yang berarti, baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga. Karena pada akhirnya, yang penting bukan ke mana kita pergi, tapi dengan siapa kita menghabiskan waktu.