Suatu hari, Abah memutuskan untuk menjual kursi kantor lamanya. Kursi yang sudah setia menemani Abah sejak awal pandemi itu mulai kehilangan pesonanya—busa mulai tipis, dan roda-rodanya lebih sering nyangkut daripada meluncur. “Sudah saatnya cari yang baru,” pikir Abah sambil meraba pinggang yang sering pegal karena kursi tua itu.
Abah memasang iklan di internet. Judulnya simpel, “Jual Kursi Kantor.” Foto kursi diambil dari berbagai sudut: depan, belakang, samping, dan tak lupa close-up bagian roda yang udah aus. Harga pun dibanderol murah, hanya untuk menghabiskan tempat di rumah.
Tak lama kemudian, ada seorang calon pembeli yang menghubungi. Namanya Pak Anto, seorang pekerja kantoran yang sedang mencari kursi baru. Percakapan lewat chat pun dimulai.
Pak Anto: “Selamat siang, Pak. Saya tertarik dengan kursi kantor yang Bapak jual. Kondisinya masih bagus?”
Abah: “Siang, Pak Anto! Kondisi masih layak, tapi kursinya udah agak aus. Roda kadang seret, tapi masih bisa dipakai kok!”
Pak Anto: “Kalau boleh tahu, apa kursi ini nyaman buat kerja lama?”
Abah: “Tergantung gimana gaya duduknya, Pak. Kalau duduknya tegap terus, pasti aman. Tapi kalau sering selonjoran atau duduk miring kayak lagi nonton TV, ya mungkin punggung bakal protes.”
Pak Anto: “Waduh, kok jadi ragu ya. Apa rodanya bisa diganti?”
Abah: “Rodanya bisa diganti, Pak. Tapi biasanya, kalau diganti, kursinya malah jadi lebih akrab sama lantai. Rodanya nempel ke lantai terus, nggak mau gerak lagi.”
Pak Anto: “Hahaha… Bapak ini lucu juga ya. Eh, kursi ini pernah jatuh nggak?”
Abah: “Wah, jujur aja, Pak. Kursi ini pernah jatuh, tapi bukan karena kursinya rusak. Itu karena saya yang keasyikan ngelamun sambil muter-muter kursi, terus oleng sendiri.”
Pak Anto: “Jadi kursinya aman, cuma penggunanya yang perlu hati-hati ya?”
Abah: “Betul, Pak! Kursi ini ngikutin pengguna. Kalau pengguna fokus, kursi aman. Kalau pengguna suka ngelamun, ya siap-siap saja merasakan gravitasi.”
Setelah ngobrol panjang lebar, akhirnya Pak Anto setuju untuk beli. Esok harinya, dia datang ke rumah Abah untuk lihat langsung kursinya.
Saat Pak Anto datang dan mencoba duduk di kursi itu, dia tersenyum dan berkata, “Oh, ini kursinya. Empuk juga, tapi benar kata Bapak, rodanya nggak bisa diajak kompromi.”
Abah: “Ya, Pak. Ini kursi cocok buat yang udah nggak butuh banyak bergerak. Kalau mau hemat energi, kursi ini pilihan terbaik!”
Pak Anto tertawa dan akhirnya tetap membeli kursi itu. Sebelum pulang, dia sempat berpesan, “Terima kasih, Pak Abah. Kalau nanti saya jatuh dari kursi ini, saya tahu siapa yang salah—bukan kursinya, tapi penggunanya.”
Dan begitulah, Abah berhasil menjual kursi kantor tua yang penuh kenangan, sambil tetap menyebarkan tawa di tengah urusan jual beli sederhana.
Di rumah, Abah duduk di kursi barunya, yang rodanya bisa meluncur mulus. Namun, entah kenapa, tanpa kursi lamanya, Abah merasa kehilangan sedikit “tantangan” setiap kali duduk.
Tamat.